Merekam Video Telanjang dan Dikirim ke Pacar dapat Dipidana
Assalamualaikum
dan selamat sore sodaraku.., ktm kembali dengan si pemilik blog,, he3… oh iya
sobat blogger pada kesempatan ini sy akan berbagi seputar hukum dan beberapa
kasus hukum dan penegakkan hukumnya. Ok, langsung saja sobat Blogger kita simak
dan baca sedikit tulisan berikut ini..,
1.
Apakah Merekam Video Telanjang dan Dikirim ke Pacar, Dapatkah Dipidana?
Wanita
bernama A berpacaran dengan pria bernama B. Wanita A di bawah umur, dengan
selang 4 tahun dari pria. A merekam diri telanjang dan mengirimkan ke B.
Setelah berpacaran 2 tahun lebih, mereka putus karena hal sepele. Ibu si A
ingin menuntut B atas pelecehan anak di bawah umur. Siapakah yang dikenakan
sanksi? Apakah si A terkena sanksi membuat video porno, dan ibu si A yang
menuduh B tanpa bukti?
Oleh karena usia A tidak disebutkan secara
detail apakah masuk usia dibawah umur atau tidak, namun menurut Anda sebagai
penanya merupakan “anak di bawah umur”. Sebelum kita menjawab hal tersebut,
terlebih dahulu kita bahas mengenai definisi seseorang masih bisa dikatakan
sebagai Anak.
Seseorang dikatakan sebagai “Anak” dalam
hukum pidana adalah anak yang belum berusia 18 (delapan belas tahun). Hal
tersebut sebagaimana diatur didalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak (“UU Perlindungan Anak”) dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997
tentang Pengadilan Anak (“UU Pengadilan Anak”).
Pasal 1 angka 1 UU Perlindungan Anak menyebutkan :
“Anak adalah
seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih
dalam kandungan.”
Pasal 1 angka 1 dan
angka 2 UU Pengadilan Anak menyebutkan bahwa:
1.
Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 tahun
tetapi belum mencapai 18 tahun dan belum pernah kawin.
2.
Anak Nakal adalah:
a.
Anak yang melakukan tindak pidana; atau
b.
Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut
peraturan perundang – undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup
dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
Terkait dengan proses peradilan bagi seorang
“Anak”, Pasal 4 UU Pengadilan Anak
menyebutkan bahwa:
1.
Batas umur anak nakal yang dapat diajukan ke Sidang Anak adalah sekurang –
kurangnya 8 tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin.
2.
Dalam hal anak melakukan tindak pidana pada batas umur 8 tahun sampai 18 tahun
dan diajukan ke sidang pengadilan setelah anak melampaui batas umur tersebut
tetapi belum mencapai 21 tahun, tetap diajukan ke Sidang Anak.
Berdasarkan deskripsi tersebut, kami akan
menjawab pertanyaan Anda dengan asumsi bahwa wanita bernama A dalam pertanyaan
Anda sebagai “Anak” sebagaimana ketentuan perundangan.
Tindakan A merekam
diri telanjang apakah dapat dikenakan sanksi?
Pada prinsipnya, tiap-tiap orang dilarang
untuk membuat atau menyediakan informasi yang mengandung muatan pornografi. Di
dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008
tentang Pornografi
(“UU Pornografi”) disebutkan bahwa:
”Setiap orang
dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan,
menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan,
atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat:
a.
persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang;
b.
kekerasan seksual;
c.
masturbasi atau onani;
d.
ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;
e.
alat kelamin; atau
f.
pornografi anak.”
Pengertian “membuat” sebagaimana dimaksud di dalam pasal atas adalah membuat
dengan tujuan untuk menyebarluaskan hasil buatannya tersebut kepada pihak lain,
bukan untuk digunakan atau dikonsumsi untuk kepentingan sendiri si pembuat.
Ketentuan ini bisa dilihat di dalam penjelasan
Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi yang berbunyi:
“Yang dimaksud
dengan "membuat" adalah tidak termasuk untuk dirinya sendiri dan
kepentingan sendiri.”
Oleh karena itu, perbuatan seseorang membuat
atau mendokumentasikan informasi yang mengandung muatan kecabulan atau
eksploitasi seksual seperti merekam aktivitas pribadi dengan telanjang
sepanjang dokumentasi tersebut disimpan dan digunakan untuk kepentingan sendiri bukan sebuah tindak pidana.
Meskipun demikian, ada baiknya kita
mencermati bahwa sampai saat ini adalah masih banyak perdebatan tentang batasan
apakah yang dimaksud “kepentingan sendiri” dalam Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi
dapat diartikan sebagai “kepentingan pribadi” yang dapat digunakan sesuai
kehendak pemilik “rekaman pribadi” termasuk mengirimkannya kepada individu
terbatas yang dikehendaki, ataukah “kepentingan sendiri” yang dimaksud adalah
hanya digunakan untuk kepentingan
perseorangan pemilik “rekaman pribadi” semata.
Terkait pertanyaan Anda, apakah wanita
bernama A dapat dikenakan sanksi akibat membuat video porno, tentu hal itu
tergantung apakah wanita bernama A itu dapat membuktikan atau tidak bahwa
“rekaman pribadi” tersebut memang hanya digunakan untuk kepentingan sendiri.
Jika hal tersebut dapat dibuktikan maka dipastikan wanita bernama A terlepas
dari jeratan pasal “membuat pornografi”.
Namun, yang patut menjadi perhatian adalah
terkait perbuatan wanita bernama A yang mengirimkan fail “rekaman pribadi”-nya
kepada pria bernama B. Tindakan wanita yang bernama A mengirimkan fail “rekaman pribadi” kepada pihak-pihak lain (bukan
untuk kepentingan sendiri semata) dapatdijeratsebagai perbuatan “menyebarluaskan” pornografi sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 4 ayat (1) UU
Pornografi. Atas pidana tersebut diancam dengan penjara paling singkat 6 (enam)
bulan dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit
Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah). Ketentuan pidana ini diatur dalam Pasal 29 UU Pornografi yang berbunyi:
“Setiap orang yang
memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan,
mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau
menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua
belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus
lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar
rupiah).”
Disamping itu, terkait pengiriman fail
“rekaman pribadi”, Pasal 27 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) juga melarang setiap Orang dengan
sengaja dan tanpa hak mendistribusikan atau mentransmisikan atau membuat dapat
diaksesnya Informasi Elektronik atau Dokumen Elektronik yang mengandung muatan
yang melanggar kesusilaan.
Bunyi Pasal
27 ayat (1) UU ITE adalah sebagai berikut:
“Setiap Orang
dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau
membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang
memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.”
Perbuatan yang disebutkan di dalam Pasal 27
ayat (1) UU ITE diancam dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,- (satu miliar rupiah). Demikian
sebagaimana diatur di dalam Pasal 45
ayat (1) UU ITE.
Dengan menggunakan pendekatan hukum Pasal 27
ayat (1) UU ITE, perbuatan wanita yang bernama A mengirim “rekaman pribadi”
kepada pria bernama B masuk dalam kriteria “mentransmisikan atau membuat dapat diaksesnya” Informasi
Elektronik yang mengandung muatan yang melanggar kesusilaan.
Dari alasan-alasan hukum tersebut, apa yang
telah dilakukan oleh wanita bernama A dapat dikenakan sanksi pidana (dengan
asumsi bahwa pengiriman “rekaman pribadi” tersebut dilakukan atas inisiatif A
dan tidak ada bentuk paksaan, bujukan
atau dorongan dari B). Jika misalkan dapat dibuktikan bahwa terdapat
unsur paksaan dari B, maka wanita bernama A dapat dibebaskan dari tuduhan
“mentransmisikan atau membuat dapat diaksesnya“ Informasi Elektronik yang
mengandung muatan yang melanggar kesusilaan karena adanya unsur paksaan dari pihak lain. Hal ini seseuai dengan Pasal 48 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang menyatakan
bahwa:
“Barang siapa
melakukan perbuatan karena pengaruh daya
paksa, tidak dipidana.”
Jika unsur paksaan tidak terpenuhi atau tidak
dapat dibuktikan, maka wanita bernama A tetap dapat dikenakan pidana. Meski
demikian, karena wanita yang bernama A ini masih di bawah umur (“Anak”)
perlakuannya akan berbeda dengan orang dewasa. Karena undang-undang memberikan
perlindungan kepada anak-anak yang melakukan tindak pidana.
Adapun beberapa bentuk perlindungan
undang-undang terhadap anak yang menghadapi permasalahan di dalam hukum sebagai
mana di atur di dalam Pasal 16 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU Perlindungan
Anak yakni:
1. Setiap anak berhak memperoleh
perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang
tidak manusiawi.
2. Setiap anak berhak untuk
memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum.
3. Penangkapan, penahanan, atau
tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang
berlaku dan hanya dapat dilakukan
sebagai upaya terakhir.
Apakah pria bernama
B yang menerima “rekaman pribadi” A dapat dikenakan sanksi?
Menurut pendapat kami, fail “rekaman pribadi”
wanita A yang diterima oleh pria bernama B selama dapat dibuktikan tidak ditemukannya unsur paksaan atau pidana
lain yang dilakukan oleh pria B terhadap wanita A dalam “pembuatan”
maupun “pengiriman” fail “rekaman pribadi” tersebut dan tidak disebarkan kepada pihak lain maka ia tidak melanggar hukum.
Jika fail “rekaman pribadi” tersebut disebarkan, maka pria bernama B dapat
dikenakan Pasal 27 ayat (1) UU ITE jo Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi. jika
ditemukan unsur paksaan, pria B juga dapat dijerat Pasal 55 ayat (1) KUHP jo
Pasal 27 ayat (1) UU ITE dan Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi terkait perbuatan “menyuruh lakukan sebuah tindak pidana”.
Tuduhan tanpa
bukti?
Tidak mudah memang menemukan bukti adanya
sebuah tindak pidana dalam kasus pembuatan dan pengiriman fail “rekaman
pribadi”. Hal tersebut dikarenakan sifat sebuah dokumen/informasi elektronik
yang sangat mudah disembunyikan, dihilangkan atau di-delete sehingga tidak tampak lagi secara kasat mata. Dibutuhkan
uji digital forensik untuk mengetahui apakah fail tersebut memang ada atau
pernah ada dalam sebuah perangkat elektronik.
Terkait tuduhan ibu dari wanita yang bernama
A yang tanpa bukti, jika benar demikian, ibu dari wanita yang bernama A dapat
dikenakan tuduhan “pencemaran nama baik” oleh B sebagaimana diatur dalam Pasal 310 ayat (1) KUHP, yang
berbunyi.
“Barang siapa
sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu
hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena
pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda
paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”
Catatan Penting:
-
Di dalam Pasal 106 Undang-Undang
No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
(“UU SPPA”) dinyatakan bahwa UU Pengadilan Anak dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku pada saat mulai berlakunya UU tersebut. Namun, di dalam Pasal 108 UU SPPA dinyatakan bahwa UU
tersebut baru berlaku 2 tahun setelah 2 tahun sejak tanggal diundangkan atau 2
tahun sejak 30 Juli 2012 (sekitar Agustus 2014).
-
Mengenai batas usia anak untuk dapat
dituntut pertanggungjawaban pidananya, MK berdasarkan Putusan MK No. 1/PUU-VIII/2010 Tahun
2010 menaikkan batas minimal usia anak yang dapat
dituntut pertanggungjawaban pidana dari 8 tahun menjadi 12 Tahun.
Dasar
Hukum:
Demikian Sobat Blogger, semoga bermanfaat dan
bisa menambah pengetahuan bagi kita semua. Makasih sodaraku atas kunjungannya
di blog sederhana ini. Sehat selalu.
Wassalamualaikum
Warahmatullahi Wabarakatuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar