Pidana Bersyarat dan Pembebasan
Bersyarat
Assalamualaikum warahmatullahi
wabarakatuh, selamat sore saudaraku. Masih seputar hukum. Semoga saudara semua
sehat selalu dan dapat menyimak dengan baik sedikit tulisan hokum dibawah ini.
Langsung saja sobat blogger kita ke inti masalahnya, selamat membaca.
Terlebih
dahulu kami akan menjelaskan mengenai Pidana Bersyarat terlebih dahulu. Pidana bersyarat adalah Pidana dengan
syarat-syarat tertentu, yang dalam praktik hukum disebut dengan pidana/hukuman
percobaan. Pidana bersyarat adalah suatu sistem penjatuhan pidana oleh hakim
yang pelaksanaannya bergantung pada syarat-syarat tertentu atau kondisi
tertentu.
Dalam
buku “Azas-Azas Hukum Pidana di
Indonesia dan Penerapannya” (Kanter
E.Y & S.R. Sianturi, 2002, Storia Grafika) dijelaskan bahwa pidana
bersyarat adalah “Sekedar suatu
istilah umum, sedangkan yang dimaksud bukanlah pemidanaannya yang bersyarat,
melainkan pemidanaannya pidana itu yang digantungkan pada syarat-syarat
tertentu.”
Pidana
bersyarat diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) pada Pasal
14 a yang berbunyi:
(1) Apabila
hakim menjatuhkan pidana paling lama satu tahun atau pidana kurungan, tidak
termasuk pidana kurungan pengganti maka dalam putusnya hakim dapat
memerintahkan pula bahwa pidana tidak usah dijalani, kecuali jika dikemudian
hari ada putusan hakim yang menentukan lain, disebabkan karena si terpidana
melakukan suatu tindak pidana sebelum masa percobaan yang ditentukan dalam
perintah tersebut diatas habis, atau karena si terpidana selama masa percobaan
tidak memenuhi syarat khusus yang mungkin ditentukan lain dalam perintah itu.
(2) Hakim
juga mempunyai kewenangan seperti di atas, kecuali dalam perkara-perkara yang
mangenai penghasilan dan persewaan negara apabila menjatuhkan pidana denda,
tetapi harus ternyata kepadanya bahwa pidana denda atau perampasan yang mungkin
diperintahkan pula akan sangat memberatkan si terpidana . Dalam menerapkan ayat
ini, kejahatan dan pelanggaran candu hanya dianggap sebagai perkara mengenai
penghasilan negara, jika terhadap kejahatan dan pelanggaran itu ditentukan
bahwa dalam hal dijatuhkan pidana denda, tidak diterapkan ketentuan pasal 30
ayat 2.
(3) Jika
hakim tidak menentukan lain, maka perintah mengenai pidana pokok juga mengenai
pidana pokok juga mengenai pidana tambahan.
(4) Perintah
tidak diberikan, kecuali hakim setelah menyelidiki dengan cermat berkeyakinan
bahwa dapat diadakan pengawasan yang cukup untuk dipenuhinya syarat umum, bahwa
terpidana tidak akan melakukan tindak pidana, dan syarat-syarat khusus jika
sekiranya ditetapkan.
(5) Perintah
tersebut dalam ayat 1 harus disertai hal-hal atau keadaan-keadaan yang menjadi
alasan perintah itu.
Pidana
bersyarat pernah kita dengar pada suatu kasus yang terkenal yakni pemidanaan
Rasyid Amrullah Rajasa. Dalam kasus ini, majelis hakim menerapkan Pasal 14 a
KUHP yang bertujuan sebagai wujud pencegahan agar tidak melakukan hal yang
sama. Ketua Majelis Hakim yang menjatuhkan vonis, Suharjono, berpandangan bahwa
telah terwujud prinsip teori hukum restorative
justice dalam putusan hakim sehingga setimpal dengan perbuatan Rasyid.
Selain itu, Suharjono juga mengatakan “Terdakwa
berlaku sopan, tidak mempersulit persidangan, masih muda, dan keluarga
bertanggung jawab. “ Baca berita selengkapnya di sini.
Kedua,
mengenai Pembebasan Bersyarat.
Pembebasan bersyarat adalah bebasnya Narapidana setelah menjalani
sekurang-kurangnya dua pertiga masa pidananya dengan ketentuan dua pertiga
tersebut tidak kurang dari 9 (sembilan) bulan. Pengertian ini terdapat dalam Penjelasan Pasal 12 huruf k UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan..
Mengenai
prosedur dan syarat suatu Pembebasan Bersyarat, dapat dilihat pada artikel
jawaban dari Sdri. Diana Kusumasari
yang berjudul Syarat dan Prosedur Pengajuan Pembebasan Bersyarat.
Dasar Hukum:
Sekian dan terimakasih, semoga bermanfaat
bagi kita semua.
Wassalamualaikum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar